Terkadang Aku Lelah Dengan Hidup: Lelah Dengan Semua Drama Orang Lain Kepada Ku. Atau Mungkin Aku Yang Terlalu Drama Menganggap Mereka Penting?
Hari ini, Minggu, 19 Mei 2025
Aku diam. Duduk di sudut kamar dengan lampu temaram, mencoba menenangkan pikiranku yang sudah berisik dari tadi pagi. Rasanya seperti berdiri di tengah pasar yang penuh orang berteriak, tapi tak satu pun dari mereka yang benar-benar berbicara padaku. Hanya berisik. Hanya melelahkan.
Ada masanya aku ingin menyendiri bukan karena marah atau kecewa, tapi karena lelah. Lelah dengan semua drama yang tidak aku pesan, tapi datang seolah aku adalah pemeran utamanya. Drama yang datang dari teman, keluarga, bahkan orang yang aku anggap penting dalam hidupku. Mereka hadir dengan versi ceritanya masing-masing, dan aku? Aku seperti panggung yang harus siap setiap saat untuk pertunjukan mereka.
Aku mulai bertanya pada diri sendiri: apa aku terlalu memberi ruang? Apa aku terlalu membuka pintu sampai mereka seenaknya keluar masuk dengan emosi yang belum selesai mereka urai?
Lalu muncul pikiran lain—atau mungkin justru akulah yang drama? Mungkin aku yang terlalu menganggap mereka penting, terlalu merasa perlu menjadi bagian dari masalah mereka. Mungkin aku yang terlalu mengikat diri dalam simpul yang bahkan bukan aku yang buat. Mungkin aku yang membiarkan diriku hanyut, berharap bisa menyelamatkan, padahal aku sendiri sedang tenggelam.
Aku ingat sebuah momen ketika aku merasa sangat kecewa hanya karena seseorang tidak membalas pesanku. Waktu itu aku berpikir, "Kok dia tega ya?" Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar—bisa jadi mereka juga sedang berperang dengan dunia mereka sendiri. Lalu, kenapa aku harus merasa paling layak untuk diprioritaskan?
Aku belajar bahwa menjadi lelah itu bukan salah. Tapi kalau terus-menerus lelah karena hal yang sama, mungkin yang harus dibenahi bukan dunia di luar sana, tapi cara pandangku sendiri. Barangkali aku perlu belajar untuk tidak selalu merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain. Mungkin aku harus berhenti berperan sebagai penyelamat, dan mulai memberi izin pada diriku sendiri untuk sekadar menjadi manusia biasa.
Manusia biasa yang boleh merasa cukup. Yang boleh menutup pintu untuk sementara waktu. Yang boleh memilih untuk diam, tanpa harus merasa bersalah.
Dan saat aku mulai menerima itu, aku mulai merasakan ruang dalam diriku yang sebelumnya sempit, kini sedikit lebih lapang. Aku bisa bernafas lebih pelan. Bisa melihat sekeliling tanpa ingin segera lari. Bisa duduk sendiri tanpa merasa ditinggalkan.
Semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit insight untuk siapapun kamu yang membaca tulisanku ini. Setidaknya, untuk diriku sendiri yang selalu berkunjung kembali dan membaca ulang setiap tulisan yang aku buat.
Dear Kande,
Kamu sudah melakukan yang terbaik yang kamu bisa. Tapi jangan lupa untuk membaca kembali dan coba review lagi apa yang kamu tulis. Aku mencintaimu dan semua kemurnian di dalam dirimu.
It’s me, Kande.
Gabung dalam percakapan