Aku tidak harus terluka oleh sikap orang lain karena frekuensi dan kemampuan berpikir setiap orang berbeda-beda: hanya aku yang mengerti diriku, hanya dia yang mengerti dirinya
Hari ini, Minggu, 11 Mei 2025
Ada momen di mana aku ingin marah. Ingin menegur. Ingin protes kenapa seseorang bisa bersikap seolah-olah dia tidak pernah menyakitiku. Tapi di saat yang sama, ada suara lain dalam kepalaku yang berkata, “Kande, kamu tahu kan… dia tidak melihat dunia dengan cara yang sama seperti kamu.”
Seketika aku diam. Tidak jadi marah. Tidak jadi menegur. Karena aku sadar, kita tumbuh dari cerita yang berbeda. Aku mungkin sedang berada di frekuensi 98.7, sementara dia masih berputar di 91.3. Dan bukan berarti salah satunya rusak—hanya saja kami tidak sedang menyetel pada gelombang yang sama.
Aku tidak tahu pasti sejak kapan aku mulai sadar tentang ini. Mungkin sejak aku merasa terlalu sering terluka oleh ekspektasi yang aku buat sendiri. Aku berharap dia mengerti maksudku. Aku berharap dia merasakan perasaanku. Aku berharap dia bisa melihat niatku. Tapi semua itu hanya harapanku. Dan harapan, jika tidak dibarengi pemahaman tentang realita, bisa menjadi racun yang mematikan.
Ada satu analogi yang selalu aku pakai untuk memahami ini: seperti dua orang yang sama-sama memakai kacamata. Tapi yang satu memakai kacamata minus, yang lain memakai kacamata plus. Kalau mereka saling bertukar kacamata, dunia yang mereka lihat akan jadi kabur. Bukan karena dunia itu salah, tapi karena alat bantu mereka berbeda. Begitu juga kita. Kita melihat hidup melalui kacamata pengalaman masing-masing.
Maka ketika aku merasa disakiti, aku coba tarik napas dalam-dalam. Bertanya pada diriku sendiri: “Apa dia benar-benar berniat menyakitiku, atau aku hanya merasa sakit karena aku berharap dia akan bertindak seperti aku?” Dan jujur saja, lebih sering yang kedua.
Kamu tahu apa yang paling menenangkan dari semua ini?
Kesadaran bahwa hanya aku yang benar-benar mengerti diriku. Dan begitu pula dia, hanya dia yang tahu isi pikirannya sendiri. Kita bisa saling memahami, tapi kita tidak bisa saling menggantikan proses tumbuh itu.
Kadang aku iri pada orang yang tampak mudah memahami orang lain. Tapi aku juga tahu, mungkin mereka juga sedang berpura-pura. Karena memahami orang lain itu bukan perkara satu atau dua kali pertemuan, tapi tentang kesediaan untuk terus membuka diri terhadap kemungkinan bahwa kita bisa salah. Dan itu berat.
Aku mulai belajar untuk berhenti menuntut orang lain menyamakan langkah denganku. Mungkin aku lebih cepat hari ini. Tapi bisa saja besok aku yang tertinggal. Dan itu tidak apa-apa. Karena kita semua berproses. Dan selama kita tetap mau melangkah, kita tetap bisa bertemu di titik tengah yang baru.
Tulisan ini bukan untuk membenarkan sikap cuek atau membiarkan diri jadi korban terus-menerus. Tapi ini tentang memberi ruang. Ruang untuk memahami, ruang untuk tidak selalu bereaksi, dan ruang untuk berkata dalam hati: “Aku tidak harus terluka karena aku paham, kita berbeda cara berpikir.”
Semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit insight untuk siapapun kamu yang membaca tulisanku ini. Setidaknya, untuk diriku sendiri yang selalu berkunjung kembali dan membaca ulang setiap tulisan yang aku buat.
Dear Kande,
Kamu sudah melakukan yang terbaik yang kamu bisa. Tapi jangan lupa untuk membaca kembali dan coba review lagi apa yang kamu tulis. Aku mencintaimu dan semua kemurnian di dalam dirimu.
It’s me, Kande.
Gabung dalam percakapan