Aku Terluka Oleh Ego Ku Sendiri, Tapi Mereka Hancur Lebih Dalam oleh Ego yang Tak Pernah Mereka Sadari.

Aku Terluka Oleh Ego Ku Sendiri, Tapi Mereka Lebih Kasihan Karena Terluka Jauh Lebih Dalam Tanpa Tahu Ego Mereka Sedang Melahap Dirinya.

Hari ini, Sabtu, 10 Mei 2025

Aku belajar lagi bahwa tidak semua niat baik kita akan diterima baik oleh orang lain. Siapapun dia—mau orang terdekat kita ataupun orang lain yang tidak terlalu kita kenal—pada dasarnya sebaik apapun niatmu, jika salah dalam memilih waktu, tempat, dan kepada siapa niat baik itu kamu berikan, maka semua itu sudah menjadi salah sejak awal.

Niat baiknya tidak salah. Tapi konteks “salah sejak awal” ini adalah tentang hasilnya yang tidak akan lagi sesuai dengan harapanmu. Kita nggak bahas harapan yang berlebihan, hanya sebuah harapan agar niat baik ini dapat menjadi kebaikan untuk orang yang dituju. Namun, jika waktu, tempat, dan kepada siapa kita ingin memberikan niat baik ini sudah salah, maka hasilnya sudah pasti akan salah.

Aku sedang tidak ingin berdebat dengan sudut pandang kamu. Cobalah pahami maksud tulisan ini dengan nalar kamu sampai akhirnya kamu merasa cocok. Karena menurutku hanya ada satu alasan kamu tidak akan setuju dengan tulisan ini. Apa itu? Sederhana—hanya sebuah sudut pandang yang berbeda terhadap konteks yang aku maksud.

Pasti akan terjadi distorsi saat pesan ini sampai di otak kamu. Tapi seberapa besar dan kecilnya distorsi itu, aku nggak akan bisa pastikan. Intinya, aku menulis ini hanya untuk kamu yang dapat menangkap frekuensi yang sama. Jika berbeda, mungkin tulisan kali ini bukan untuk kamu.

Kadang aku berpikir lagi, sebenarnya apa sih yang akan membuat seseorang dapat gagal dan jatuh ke lubang yang sama secara berkali-kali? Hari ini aku merasakan kekecewaan yang besar lagi dari orang yang sama. Dan aku rasa penyebabnya juga sama. Aku sangat bisa memahami situasi ini—di mana aku terluka oleh ego ku sendiri. Ego yang sangat ingin melihat mereka ikut merasakan kebahagiaan dan rezeki yang sama nikmatnya seperti ku.

Tapi waktu telah menjawab bahwa semua tidak bekerja seperti itu. Mereka juga punya ego masing-masing. Mungkin dalam hal ini egoku bisa dikatakan adalah sebuah niat baik, namun menjadi salah saat mengingat tentang tempat, waktu, dan kepada siapa niat baik ini aku berikan. Sedangkan aku merasakan dengan sangat jelas, mereka tidak memahami niat baikku karena frekuensi berpikir yang berbeda. Ego mereka menutup semua fakta dan tanda-tanda yang ada di depan mereka.

Seperti halnya saat kamu melihat seorang pengemis di pinggir jalan yang masih memiliki tubuh sehat. Mungkin kamu akan berpikir, “Kalau aku jadi dia, aku akan melakukan hal yang berbeda.” Tapi sangat mengagetkan, di dalam pikiran si pengemis, isinya justru sangat terbalik. Si pengemis justru berpikir, “Semoga orang itu memberikan sedekah untuk aku karena aku seorang pengemis yang perlu dikasihani.”

Alih-alih mereka berharap atau berpikir, “Bagaimana ya caranya kok bisa seseorang di seberang sana memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari aku?” Mereka justru akan cenderung berpikir di luar prediksi kamu.

Bagaimana aku bisa tahu? Ya pastinya dengan kebiasaan untuk ngobrol dan bertanya kepada hampir semua orang yang membuat aku penasaran tentang apa yang sekiranya mereka pikirkan. Kebiasaan yang selalu aku lakukan tanpa mereka merasa terganggu, bahkan mereka tidak sadar bahwa aku sedang mempelajari sesuatu dari mereka. Dengan caraku—untuk belajar sudut pandang orang lain dan mendapat jawaban tanpa bertanya secara langsung—melainkan melalui obrolan dan sikap nyaman yang akan membuat mereka bercerita tanpa ditanya secara spesifik tentang apa yang ingin aku ketahui.

Mari kembali kepada pembahasan tadi tentang ego.

Aku merasa ego akan selalu berusaha menguasai manusia dan menutup semua kebenaran yang ada di depan mata mereka. Apakah kamu merasakan hal yang sama? Jika ya, bagaimana cara kamu untuk menurunkan atau mengendalikan ego tersebut?

Kamu mau tau caraku? Sederhana saja.

Aku selalu melihat semua orang dengan nilai yang sama dalam setiap pertemuan, dan beberapa detik kemudian barulah aku akan melihat perubahan nilai itu secara perlahan dari sikap dan cara mereka berkomunikasi. Saat aku berhasil melihat sisi ego mereka, maka aku akan tanyakan kembali: apakah aku pun sama seperti itu?

Jika ya, maka aku harus catat dan kendalikan sikap serta cara berkomunikasiku agar tidak lagi sama seperti itu. Mungkin ini terdengar sangat sederhana dan remeh. Tapi aku terbiasa melakukan ini semua sejak aku masih kecil, saat masih di kelas NOL. Tentunya dengan ketajaman yang berbeda saat itu dan saat aku sedewasa ini.

Tapi aku sangat merasakan, semua akumulasi data yang terkumpul sejak kecil sangat membantu aku untuk menjadi diriku yang saat ini—versi terbaik diri hingga hari ini, dan akan selalu berusaha menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Ada banyak cara untuk aku bisa mengenali egoku. Misalnya dengan mempertanyakan banyak hal tentang apa yang sedang aku lakukan. Apakah dalam sikap dan perkataanku mengandung ego yang membara?

Dengan terbiasa bertanya dan menjawab jujur terhadap diri sendiri, siapapun akan mulai mampu mengenali diri mereka dengan sangat baik. Bukan hanya tentang ego, tapi tentang banyak hal yang lebih penting lagi.

Pada dasarnya, tidak ada manusia yang sempurna. Namun perbedaan nilai dan kebijaksanaan setiap orang sangat berbeda-beda. Ada yang melihatnya, ada juga yang menganggapnya tidak ada.

Bagi yang masih bisa melihat perbedaannya, maka selamat—sensor di dalam diri kamu masih aktif. Sedangkan kamu yang tidak mampu mengenali ego tersebut, maka cobalah untuk lebih memperhatikan kesehatan jasmani dan rohani kamu. Dengan pola hidup sehat dan meditasi untuk ketenangan diri sendiri.

Semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit insight untuk siapapun kamu yang membaca tulisanku ini. Setidaknya, untuk diriku sendiri yang selalu berkunjung kembali dan membaca ulang setiap tulisan yang aku buat.

Dear Kande,
Kamu sudah melakukan yang terbaik yang kamu bisa. Tapi jangan lupa untuk membaca kembali dan coba review lagi apa yang kamu tulis. Aku mencintaimu dan semua kemurnian di dalam dirimu.

It’s me, Kande.